Sepatu Dahlan, Kisah Kemiskinan yang Menginspirasi
Bagaimana orang memaknai kemiskinan
yang tengah mereka alami? Tentunya sangat banyak cara. Ada yang karena
miskin, kemudian meminta-minta di jalanan, tidak peduli, tua dan muda
semuanya menengadahkan tangan meminta sedikti receh dari hati orang yang
suka berderma.
Ada juga yang tidak mau membiarkan
kemiskinan memiskinkan hatinya. Orang-orang seperti ini, miskin bukan
karena kemiskinan itu sendiri, lebih kepada kesempatan yang tidak
berpihak. Pada kasus inilah sepertinya Dahlan, tokoh dalam Sepatu Dahlan
menjalani kemiskinannya.
Dahlan menuliskan kesannya terhadap kemiskinan yang dialaminya:
Kita bisa membayangkan
bagaimana seorang anak remaja dengan ibu yang sakit (kemudian meninggal)
dan ayah yang hanya kerja serabutan menjalani hidupnya. Boleh
dikatakan, inilah kemiskinan yang benar-benar miskin. Hampir-hampir
tidak memiliki apa-apa, baju dan celana hanya satu, selain itu sarung,
tanpa sandal dan sepatu. Namun apa yang bisa kita lihat dari tokoh
Dahlan ini adalah semangat bahwa kemiskinan harus dijalani apa adanya,
tiada ada waktu untuk mengeluh.
Seluruh kisah dalam Novel Sepatu
Dahlan yang ditulis oleh Khrisna Pabichara ini merupakan inspirasi kisah
nyata Menteri Negara BUMN, Dahlan Iskan. Membaca novel ini adalah
membaca kisah Dahlan Iskan sewaktu kecil, hidup miskin di kampung yang
jauh dari kota. Hidup bersama dengan banyak orang miskin lainnya
sehingga tekanan kemiskinan tersebut bisa dibagi bersama.
Novel setebal 392 halaman ini dimulai dengan Prolog: 18 Jam Kematian dan diakhiri dengan Epilog: Mimpi Baru. Di antara Prolog dan Epilog tersebut terdapat 32 kisah haru biru mengenai sang tokoh, Dahlan. Sungguh sebuah kisah panjang yang enak untuk ditelusuri dengan segala romansa yang diselubungi oleh kemiskinan.
Coba kita nukilkan yang berikut ini:
“Pak, ndak ada tiwul?
Bapak tersenyum lembut, “Puasa dulu Le.”Aku mengangguk mendengar jawaban Bapak sambil memegang perut yang mulai terasa perih. Sebenarnya ingin sekali mengatakan betapa laparnya perutku, tapi jawaban Bapak sudah menerangkan segalanya, tak ada lagi yang patut dipertanyakan.
Bagi orang miskin, rasa
lapar adalah hal sehari-hari yang harus dijalani. Namun sering untuk
mengatasinya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pada mulanya,
Dahlan mencuri tebu yang ada di kebun tebu di dekat rumahnya. Namun hal
ini diperingatkan oleh kakaknya.
“Lapar ndak berarti harus maling, Dik. Bukan karena nama baik keluarga, tapi Mbak takut itu jadi kebiasaan. Setiap perut kalian lapar, nyuri jadi pilihan“Ojo wedi mlarat. Yang penting tetap jujur!”
Demikianlah, Dahlan sesudah itu
tidak lagi mencuri tebu. Setiap ia lapar, sarung memiliki fungsi, yaitu
menahan rasa lapar tersebut dengan cara mengikatkan sarung
sekencang-kencangnya di perut. Selain itu ia mencari ikan di sungai yang
kemudian akan dibakar dengan bahan bakar dari kotoran sapi yang sudah
mengering.
Tentu seperti yang saya tuliskan,
tidak semua orang miskin memiliki jalan keluar yang sama dalam mengatasi
rasa laparnya. Ada yang mencuri, ada yang meminta-minta dan mungkin ada
beberapa cara yang lain. Namun Dahlan bukan satu di antara mereka.
Dahlan memilih berusahan sendiri mengatasi rasa laparnya, mencari rezeki
tuhan dengan menangkap ikan di sungai, meskipun kemungkinan untuk
mendapatkan ikan belum tentu sangat besar.
Potret kemiskinan terasa benar
dalam Novel Sepatu Dahlan ini. Dahlan sendiri tidak memiliki sepatu
sampai dengan akhir tahun kelas dua Aliyah, itu pun sepatu bekas yang
harus ia rawat agar bisa cukup tahan dipakai.
Sangat banyak kata-kata yang
menasihati kita agar tidak jatuh dalam meratapi kemiskinan yang kita
alami. Novel Sepatu Dahlan ini membekaskan lebih jauh agar kita,
semiskin apapun, masih ada harapan untuk bisa lebih baik di suatu saat
kelak.
“Kita boleh miskin harta, Dik, tapi ndak boleh miskin iman. Ingat semiskin apa pun kita, Bapak dan Ibu ndak rela kalau kita meminta-minta belas kasihan tetangga, keluarga atau siapa saja.”
Betapa saya tersentak dengan
kalimat di atas. Betapa dalam, dan sungguh kemiskinan tidak bisa kita
jadikan alasan untuk mengemis. Kita diperlengkapi oleh Yang Maha Kuasa
dua tangan, dua kaki, mulut untuk berbicara, otak untuk berpikir,
sehingga ketika kita miskin kita sebenarnya tidak layak untuk
memiskinkan hati kita, memiskinkan iman kita dengan menjadi
peminta-minta dan meminta belas kasihan orang lain.
Masih banyak lagi kisah lain di
Novel Sepatu Dahlan ini yang akan memberikan inspirasi bagi kita untuk
tetap bersemangat menjalani kehidupan, meskipun dilanda kemiskinan.
Novel yang merupakan Trilogi ini akan bersambung dengan bagian kedua
Surat Dahlan dan bagian ketiga Kursi Dahlan.
Mungkin kita sudah tahu ujung
cerita kisah ini. Namun akan sangat bermanfaat menelusuri kisah-kisah
menuju ujung cerita tersebut. Sebagaimana yang dituliskan oleh A. Fuadi
(penulis Negeri 5 Menara), Novel Sepatu Dahlan ini jenis buku yang bikin candu. Ia tak mampu berhenti membalik halaman sampai tamat.
Semoga anda pun demikian.
Judul: Sepatu Dahlan
Penulis: Khrisna Pabichara
Tahun Terbit: Mei 2012
Penerbit: Noura Books (PT Mizan Publika)
Jumlah Halaman: 392 halaman
Penulis: Khrisna Pabichara
Tahun Terbit: Mei 2012
Penerbit: Noura Books (PT Mizan Publika)
Jumlah Halaman: 392 halaman
the clip clap's story